Master

Beli sekarang dengan PayPal

KIRIM

KARYA SOSIAL MASYARAKAT

KANTOR BERITA NASIONAL

Perkebunan Sawit Merampas Hak Ulayat dan Monopoli Tanah


Inventasi Perkebunan Sawit Merampas Hak Ulayat dan Monopoli Tanah


SULAWESI,( KBNLIPANRI ONLINE )-Bahwa luas perkebunan, tambang, transmigrasi, infrastruktur serta pemukiman dan wilayah kelola masyarakat, melebihi dari wilayah administrasi Konawe selatan atau telah terjadi tumpang tindih perizinan antara perkebunan dengan perkebunan, antara perkebunan dengan pertambangan, antara perkebunan dengan pemukiman masyarakat, antara perkebunan dengan transmigrasi, antara antara pertambangan dan perkebunan dengan kepemilikan tanah atas hak-hak adat/ulayat masyarakat setempat.

Bahwa Sejumlah perusahaan sudah melakukan aktifitas serta perluasan perkebunan sawit di Konawe Selatan,  yang disertai berbagai masalah masalah seperti ketidak sesuaian antara izin lokasi dengan pembebasan lahan, aktivitas land clearing (pembersihan lahan),  perampasan lahan petani, konversi kawasan hutan produksi-lindung dan kawasan taman nasional, penggusuran lahan secara sepihak, serta berbagai masalah lainnya.

Bahwa fakta menunjukkan sejak tahun 1996 PT. Sumber Madu Bukari telah melakukan berbagai macam aktivitas hingga kini masih saja melakukan pembebasan lahan termasuk pemukiman dan wilayah hutan sagu sebagai basis Pangan unggulan dan wilayah komunal suku tolaki secara turun temurun, hingga kini perusahaan tersebut belum memiliki sertifikat Hak Guna Usaha.

Bahwa fakta lain menunjukkan sejak tahun 2007 – 2015 sejumlah perusahaan yang didominasi perkebunan sawit dan tebu telah massif melakukan aktivitas seperti PT Bintang Nusa Pertiwi, dan PT. Merbau Indah Raya, diluar izin lokasi dan melakukan penguasaan tanah diatas pemukiman dan pada wilayah kelolah masyarakat dan basis produksi pertanian/ pangan, misalnya membeli lahan sampai di rawa aopa, yang memiliki komoditas tinggi seperti sagu dan ikan air tawar yang merupakan bahan makanan pokok dan mata pencaharian utama masyarakat setempat.

Bahwa Investasi pada sektor perkebunan di Konawe Selatan dilakukan secara sistematis, diawali dengan pemberian izin lokasi oleh Bupati Konawe selatan sejak tahun 2003 sampai saat ini, tercatat 12 izin perkebunan sawit dan tebu, di tambah lagi 2 perkebunan dengan komoditas mete dan kapas, sehingga seluruh perkebunan berjumlah 14. perampasan tanah-tanah ulayat milik masyarakat melalui proses transaksi dengan menggunakan perangkat pemerintah desa, camat dan segelintir orang yang menamakan diri sebagai tokoh masyarakat, dengan cara melakukan klaim sepihak terhadap tanah ulayat dengan tujuan untuk mengkapitalisasi secara invidu. Padahal tanah-tanah tersebut adalah merupakan tanah-tanah bertuan yang menjadi ulayat masyarakat setempat, yang secara turun temurun dijadikan sebagai basis kelola dan runag hidup rakyat.

Adapun model transaksi lahan/tanah yang dijumpai di Konawe Selatan yakni penguasaan tanah oleh para investor melalui hukum Negara. Para pelaku dalam model transaksi tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar atau pemerintah yang memanfaatkan sumber daya tanah untuk alasan peningkatan, pertumbuhan ekonomi, dan akses lapangan kerja untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Padahal sebenarnya mereka hanya menjadikan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan bisnis. Bahkan kayu di atas permukaan tanah tersebut dikuasai oleh para pemilik modal dan kemudian di jadikan agunan di bank. Intinya tanah dijadikan modal dan masyarakat dijadikan tenaga buruh dengan upah murah.

Penguasaan lahan secara murah adalah merupakan tindakan perampasan dan monopolisasi tanah oleh investor, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat, dalam jangka panjang, sehingga tidak heran konflik agraria semakin bertambah dan tidak ada habisnya. Pertanyaannya dengan transaksi tanah skala besar yang terjadi, apakah akan menghasilkan jenis investasi/komoditas bermanfaat bagi masyarakat setempat. Atau sebaliknya. Inilah pengabaian, peminggiran, pemdohohan dan pemiskinan secara sistematis yang dilakukan secara sistemik dan massif.

Kecenderungan investor perkebunan sawit & tebu berinvestasi di Sulawesi Tenggara, karena: 1) ketersediaan lahan/tanah di daerah lain sudah semakin terbatas, 2) investor dengan usaha/jenis komoditas seperti sawit dan tebu, telah mengalami penolakan dari berbagai lapisan masyarakat di daerah lain, karena telah dianggap gagal dan terbukti merugikan masyarakat setempat.

3), Harga tanah di Sulawesi tenggara masih sangat murah, sehingga bagi perusahaan menjadikan peluang, tanah sebagai investasi jangka panjang. Kondisi ini merupakan tindakan manipulatif, diskriminatif, dan spekulatif terhadap masyarakat setempat. Pemerintah atas nama Negara, dan para pemilik modal tidak lagi melindungi dan mempertimbangan kondisi sosio-cultural masyarakat setempat dan nasib antar generasi dan keselamatan serta keadilan ekologis.

Oleh karena itu, segala “hukum yang merampas” hak-hak ulayat milik masyarakat di Konawe Selatan dengan alasan dan atas nama apapun harus ditolak dan dilawan.

sementara negara menjamin “eksistensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Hak-hak ulayat tidak seharusnya tidak diakui oleh negara. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 18 B ayat (2), yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Tuntutan:

Mendesak Bupati Konawe Selatan dan Gubernur Sulawesi Tenggara sesuai kewenangannya untuk menghentikan seluruh aktivitas dan tidak memperpanjang izin lokasi atau tidak menerbitkan izin usaha perkebunan PT. Bintang Nusa Pertiwi, PT. Marketinda Selaras, PT. Merbau Indah Raya, yang diduga kuat telah melakukan peminggiran, perampasan dan monopolisasi penguasaan tanah dengan cara manipulatif dan spekulatif
Mendesak KPK RI, KAPOLRI, KAPOLDA Sultra dan KAPOLRES Konawe Selatan untuk segera mengusut terbitnya SK Pemberian izin lokasi perkebunan, perambahan kawasan hutan lindung/produksi dan kawasan taman nasional rawa aopa, yang diduga kuat berlangsung manipulatif, tumpang tindih serta berbau gratifikasi, hal ini diikuti dengan keterlibatan para pihak secara terorganisir yang disebut dengan MAFIA TANAH antara lain; oknum-oknum pemerintah setempat, perusahaan dan segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat atas nama tanah ulayat.
Mendesak Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang untuk tidak menerbitkan sertifikat HGU perusahaan-perusahaan bermasalah.
Jika pemerintah dan penegak hukum tidak melakukan tindakan apapun, maka ini adalah pembiaran yang nyata, membiarkan perampasan dan monopolisasi tanah adalah memelihara benih konfik sosial dan konflik agraria. Hal ini dapat diartikan pula sebagai afiliasi perselingkungan sistemik dan massif, antara penguasa dan pengusaha. Dan biarkan rakyat membuat hukumnya.
Forum Masyarakat Tue-Tue Ngapa Walanda (FM-TNW) Kec. Angata – Konawe Selatan, Komunitas Masyarakat Lamooso (KML) Kec. Angata Kab. Konawe Selatan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) SULTRA, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah SULTRA, Aliansi Perempuan ( ALPEN ) SULTRA, Pusat Kajian & Advokasi Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM) SULTRA. ( team )

Ulasan


Catatan Popular

ASAL USUL SULANG SILIMA PAKPAK

HARTA PENINGGALAN ZAMAN KERAJAAN NUSANTARA

SEJARAH BATAK ANGKOLA TAPSEL

Sumut Bermartabat dapat Ditempa melalui Shalat

MAYAT DAN BAWAAN KORBAN KM SINAR BANGUN

TRAGEDI MAYAT KORBAN KM SINAR BANGUN

ASN Pemprov Sumut Gunakan e-Absensi Mulai 1 November 2018

GEMPA NTB