- Dapatkan pautan
- X
- E-mel
- Apl Lain
Melayu Kuno, Jawa Kuno dan Batak Kuno; Candi Simangambat Lebih Tua daripada Candi Borobudur
CANDI PORTIBI
Isi laporan Schnitger, 1935: Simangambat abad ke-8
Sejarah Angkola adalah sejarah yang seusia dengan namanya.
Nama Angkola semakin populer pada abad kesebelas (karena dikaitkan dengan
prasasti Tanjore, India selatan 1030 pada Dinasti Chola). Namun daerah yang
kemudian disebut Angkola itu, besar kemungkinan sudah dikenal jauh sebelumnya,
ketika pedagang-pedagang Ankola (kini Karnataka) dan pedagang-pedagang Panai
(di Ceilon, kini Sri Lanka) berlalu lalang di sekitar sungai yang kini dikenal
sebagai sungai Batang Angkola (di Tapanuli Selatan). Pada abad kedelapan
orang-orang dari Ankola dan Panai ini membangun candi di Simangambat, Siaboe
(candi yang dibangun lebih awal dari candi Borobudur). Pada masa itu Sriwijaya
di Palembang belum sampai pada puncak kejayaannya. Sehubungan dengan itu, jika
dalam penulisan sejarah nusantara, era pembangunan Borobudur disebut Jawa Kuno
(Mataran kuno) dan era kejayaan Sriwijaya disebut Melayu Kuno, maka masa dimana
pedagang-pedagang Ankola di daerah Angkola dan pedagang-pedagang Panai di daeah
Padang Bolak (kini lebih populer dengan sebutan Padang Lawas) boleh juga
disebut sebagai Batak kuno. Oleh karenanya, seharusnya terdapat tiga tempat
permulaan peradaban baru (yang telah dikenal) di Nusantara, yakni: Jawa kuno,
Melayu kuno dan Batak kuno--suatu masa kapan peradaban lebih lanjut berkembang
dan suatu tempat dimana awal perkembangan peradaban dimulai. Bagaimana
penjelasannya? Mari kita lacak!.. . . ..
***
Jung Huhn seorang geolog, wakil pemeritah Belanda di
Afdeeling Pertibie (Portibi) adalah orang luar pertama yang melaporkan adanya
candi di Portibie (1846). Berdasarkan penemuan ini, Jung Huhn bersama Willer
melakukan penyelidikan awal tentang komplek percandian di daerah Portibie (nama
Portibi sejak kehadiran Belanda di Portibie kerap dipertukarkan diganti Padang
Lawas). Deskripsi hasil penyelidikan mereka menjadi bagian dari laporan
masing-masing yang dapat dibaca pada buku Jung Huhn dan buku Willer yang telah
diterbitkan. Setelah dua orang ini berlalu tidak ada kabar berita lagi tentang
percandian di Padang Lawas.
Willer adalah Asisten Residen pertama Afdeeling Mandheling
en Ankola (Mandailing dan Angkola). Sementara, Jung Huhn adalah seorang tenaga
ahli yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal di Batavia untuk melakukan pemetaan
geologi di Tapanoeli. Jung Huhn memulai ekspedisi dari Teluk Sibolga memasuki
daerah Angkola dan kemudian daerah Portibie. Selama bertugas di Portibie, Jung
Huhn diangkat sebagai wakil pemerintah di Afdeeling Portibie. Pada saat
bertugas di Portibie inilah Jung Huhn mengkonfirmasi adanya bukti candi
(berdasarkan laporan masyarakat). Willer yang juga adalah ahli geografi sosial
saling bertukar temuan dengan Jung Huhn..
Candi di Portibi (Westenenk, 1920)
Pada tahun 1920 Residen Palembang, Westenenk yang telah
mengumpulkan bukti-bukti candi di Palembang, merasa perlu untuk berkunjung ke
Padang Lawas. Westenenk adalah orang ketiga yang berpartisipasi dalam
mengungkap percandian di Padang Lawas. Pada masa Westenenk inilah seorang
arkeolog bernama FM Schnitger ditempatkan di Palembang untuk memimpin lembaga
kepurbakalaan Sumatra yang baru dibentuk.
Setelah beberapa tahun FM Schnitger menjabat sebagai Kepala
Pusat Kepurbakalan Sumatra, entah siapa yang melaporkan adanya candi di
Simangambat, Siaboe, arkeologi ini tiba-tiba kaget luar biasa dan bergegas dari
Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat.
Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap
candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada tahun 1935 (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad
05-06-1935). Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk
brosur 38 halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ
Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi
(Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului
pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'.
Keberadaan candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis
continuum kehadiran orang-orang India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan
Padang Lawas. Sebagaimana diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah
tercatat adalah Baros (konon sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno,
jaman prasejarah). Koloni orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan
adalah orang-orang India selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui
banyak penduduk lokal di sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan
tambang emas (pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).
Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935
Berita tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua
koran besar di Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran
tersebut mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam
laporannya diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun
pada abad kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan
candi di Bonan Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di
Sumatra. Candi ini mengandung relief teratai dan yang paling mengejutkan
ditemukan arca dewa Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari
Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan. Hal yang luar biasa dalam
penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan suatu daerah di Jawa.
Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan untuk
eksplorasi ke percandian di Baroemoen, di mana mereka berharap untuk membuat
penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke daerah
itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’.
Candi Simangambat: Bukti awal keberadaan penduduk Angkola,
Mandailing dan Padang Lawas
Dalam candi Simangambat ditemukan arca dewa Ganesha, dewa
terkenal dalam agama Hindu, dewa yang disebut dewa pengetahuan dan dewa
kecerdasan (menjadi lambang ITB) dan kerap diasosiasikan dengan para pedagang.
Dalam kaitan arca di Simangambat ini, sudah barang tentu orang-orang India
selatan yang sudah berada di Siaboe adalah dari kalangan pedagang (bukan dari
golongan petani dan bukan golongan penambang). Mereka adalah golongan pebisnis
di tempat asalnya di India selatan yang melakukan koloni di Siaboe. Adanya
candi adalah bukti paling otentik adanya koloni.
Peta sungai Batang Angkola 1843-1847
Secara teoritis koloni India selatan di Siaboe bukanlah
golongan masyarakat rendah dan miskin. Mereka adalah golongan pebisnis kaya
yang mampu melakukan pelayaran jarak jauh yang membutuhkan biaya yang sangat
mahal. Sebagai pebisnis, mereka datang bukanlah untuk bertani atau menambang di
daerah pedalaman di Siaboe. Mereka datang dalam konteks keuntungan, dimana
mereka mampu mengeluarkan biaya tinggi dan risiko besar dan berharap semua
pengeluaran akan tertutupi dengan perkiraan hasil perdagangan yang sudah jelas
sumbernya, dimana terdapat suatu daerah yang mana penduduknya telah sejak lama
memproduksi emas. Ini mengindikasikan bahwa keberadaan penduduk Batak di Siaboe
mendahului keberadaaan orang-orang (koloni) India selatan di Siaboe. Dengan
kata lain, penduduk Batak di Siaboe memiliki kekayaan (hasil pertanian dan
hasil pertambangan) dan orang-orang India selatan yang datang jelas bukan orang
miskin yang tidak mampu. Inilah prinsip dasar adanya perdagangan, dan
perdagangan adalah pemicu kehadiran koloni India selatan di Siaboe dan inti
perdagangan sendiri di Siaboe adalah produk yang sangat bernilai yang disebut
sere (emas).
Peta Kampung Simangambat, Siaboe (1943)
Orang-orang India selatan yang datang di Siaboe awalnya
melakukan transaksi perdagangan emas dengan penduduk lokal yang telah sejak
lama mengusahakannya. Di jaman kuno, tentu saja belum dikenal eksplorasi dan
ekploitasi mineral (seperti di era modern). Penemuan mineral di suatu lokasi di
jaman kuno adalah penemuan yang tidak disengaja oleh penduduk local. Inilah
prakondisi perdagangan emas di Siaboe. Penduduk yang sudah sejak lama berada di
daerah itu menemukan emas, mengusahakannya, lalu para pedagang lokal
meneruskannya ke pusat-pusat perdagangan emas yang sudah dikenal, yakni Baros
(kota perdagangan paling kuno di Nusantara). Oleh karena titik pelayaran
orang-orang India selatan sudah ada sejak lama di Baros, maka informasi
keberadaan emas ini di Siaboe tentu saja diperoleh dari Baros (dimana sudah ada
koloni dari India selatan dari Tamil). Dari Baroslah pangkal perkara mengapa
orang-orang India selatan lainnya memulai koloni di Siaboe. Dibanding
pedagang-pedagang manca negera lainnya seperti Mesir, Arab dan Persia,
pedagang-pedagang India selatanlah yang paling dekat dengan alam yang menjadi
dasar berperilaku mengapa mereka lebih adapatif jauh masuk ke padalaman dan
membuat koloni.
Candi Simangambat
Banyak teori atau interpretasi bahwa para pendatang adalah
awal segalanya. Bahwa para pendatang menurunkan segalanya. Teori tersebut atau
interpretasi tersebut kurang berdasar. Dalam era perdagangan, memang para
pendatang cenderung telah memiliki tingkat peradaban yang lebih tinggi,
karenanya mereka adalah pembawa ilmu pengetahuan dan cara-cara baru dalam
kehidupan. Akan tetapi dalam konteks para pedagang pendatang bukanlah
segalanya. Para pedagang pendatang tidak menurunkan penduduk dan mereka para
pendatang bukan otomatis menjadi nenek moyang para penduduk local. Bahwa
diantara para pendatang dan para penduduk local kemungkinan terjadinya
perkawinan campuran sangat masuk akal. Para pendatang hanyalah segilitir orang,
sedangkan penduduk local cenderung lebih banyak dari para pendatang. Adanya
perkawinan campuran sulit mengubah posisi (dominan) suatu ras dan yang dominan
tetap ras dari penduduk local.
Dengan bertitiktolak kolonisasi para pedagang India di
nusantara, berdasarkan bukti candi ditemukan tiga kolonisasi utama: Batak,
Palembang dan Jawa. Dalam konteks penduduk, awal kolonisasi India bukanlah
titik tolak apa yang disebut Jawa kuno (Jawa Tengah), Melayu kuno (Palembang)
dan Batak kuno (Baros atau Siaboe). Seharusnya, Batak kuno, Melayu kuno dan
Jawa kuno harus diartikan sebagai masa yang lebih tua (kuno) dari kehadiran
para pendatang dari India. Oleh karena dalam tradisi penulisan sejarah kuno hanya
berdasarkan kedatangan orang-orang India, maka hanya tiga lokasi penduduk kuno
yang dikenal yakni Jawa kuno, Melayu kuno dan Batak kuno. Padahal penduduk kuno
di nusantara lebih dari tiga tempat, ada Sunda kuno, Lampung kuno dan
sebagainya. Batak kuno juga dapat dirinci menjadi Angkola kuno, Mandailing
kuno, Padang Lawas kuno, Silindung kuno, Toba kuno dan seterusnya.
Peta Angkola dan Padang Lawas dibatasi Bukit Barisan (1919)
Lantas, kapan penduduk kuno ini muncul. Hanya membuang waktu
untuk mengidentifikasinya. Bagaimanapun tidak akan cukup informasi untuk
menyimpulkannya, sebab semakin kuno suatu hal di masa lampau semakin sulit
menghadirkan bukti-buktinya. Meneruskan mitos, legenda dan sebagainya hanya
meneruskan cara-cara berpikir yang sederhana terhadap persoalan yang sangat
rumit (dan sangat kabur). Kita hanya perlu membuat titik tolak dari bukti-bukti
yang dapat diverifikasi. Candi Simangambat adalah bukti terawal terhadap
keberadaan penduduk Batak di Siaboe dan kita bisa interpretasi bahwa keberadaan
penduduk Siaboe jauh lebih awal dari kedatangan orang-orang India selatan.
Interpretasi lainnya adalah bahwa penduduk terawal di Siaboe bukanlah sendiri,
ada juga penduduk terawal yang ditemukan yang jauh lebih tua atau sejaman atau
lebih muda mungkin di Kotanopan (Mandailing), di Sipirok (Angkola), di Portibi
(Padang Lawas), di Tarutung (Silindung), di Porsea (Toba) dan di tempat-tempat
lainnya. Relasi dan sekuen dari penduduk local di berbagai tempat tersebut
tidak akan cukup informasi untuk membuat konfigurasinya.
Candi Angkola, candi Padang Lawas dan candi Mandailing
Candi Simangambat di Siaboe tidak hanya mendahului candi
Borobudur atau candi yang lebih baru di tempat lain, tetapi juga candi
Simangambat mendahului adanya candi di Padang Lawas. Candi Siaboe diduga
dibangun pada abad kedelapan dan candi Padang Lawas dibangun pada abad
kesebelas. Penanggalan tahun pembangunan candi Padang Lawas hanya didasarkan
pada prasasti Tanjore (1030). Namun perbedaan jarak waktu antara Siaboe dan
Padang Lawas dapat diinterpretasi lebih pendek. Dengan kata lain, awal adanya
candi di dua daerah (Siaboe dan Padang
Lawas) dapat diinterpretasi lebih dekat waktunya karena secara geografis kedua
daerah hanya dibatasi oleh gunung yang tidak terlalu tinggi yang disebut gunung
Malea (berasal dari nama Himalaya).
Prasasti Tanjore sendiri terjadi pada dinasti Chola. Okupasi
ekspedisi Chola di Padang Lawas sesungguhnya melanjutkan koloni India dari
Ceilon yang disebut Panai. Dengan kata lain, orang-orang India dari Ceilon di
Panai mendahului orang-orang India selatan di tempat yang sama. Ini berarti
candi-candi yang dibangun di Panai tidak terlalu jauh dari candi di Siaboe.
Para pendatang di Siaboe dan di Panai adalah para pedagang yang berasal dari
kampong yang sama di Ceilon. Sebagaimana diketahui bahwa komunitas di Ceilon
adalah campuran penduduk yang menganut agama Budha dan agama Hindu. Karenanya
para pedagang yang berasal dari Ceilonlah yang membuka koloni terawal di
Nusantara baik koloni Budha dan koloni Hindu.
Di Jawa kuno (Jawa Tengah) dan Melayu kuno (Palembang)
antara India penganut Budha dan penganut Hindu berbagi tempat. Hal ini juga
tampaknya yang terjadi di Batak kuno (Tapanoeli) di Siaboe dan di Panai. Di
Siaboe adalah orang Ceilon beragama Hindu sedangkan di Panai adalah agama
Budha. Di Magelang terbentuk komunitas Budha (candi Borobudur) dan di Klaten
terbenruk komunitas Hindu (candi Prambanan).
Nama Panai sendiri adalah nama suatu daerah di Ceilon. Namun
dalam perkembangannya, dominasi Hindu semakin menguat di Panai. Orang-orang
Hindu di Panai diduga adalah sebagian orang-orang Hindu di Siaboe yang
bermigrasi ke Panai. Koloni-koloni Ceilon yang masih tersisa di Siaboe dan
sekitarnya (seperti Pijar Koling di daerah Angkola yang sekarang. Sebagai
gambaran ringkas: koloni pedagang dari India selatan di Tanah Batak adalah
sebagai berikut: Orang Tamil Nadu di Baros. orang Ankola, Karnataka di Angkola
dan orang Panai, Ceilon di Baroemoen (Padang Lawas)..
Paya (danau) besar Angkola di Sigalangan
Penamaan teritori Angkola saat itu besar kemungkinan
didasarkan pada asal-usul daerah asal dan komunitas penganut agama. Nama
Simangambat (seperti halnya juga Bonan Dolok dan Siaboe) adalah tiga nama lama
yang mungkin berasal dari nama lokal daripada nama yang dikaitkan dengan India.
Tiga tempat ini sudah sejak era Hindu merupakan nama-nama tempat di daerah
pengaliran sungai Batang Angkola yang berpusat di Pijor Koling. Jika diyakini
bahwa orang-orang India datang (migrasi dari Baros) maka sungai Batang Angkola
adalah moda transportasi sungai yang sesuai. Sungai Batang Angkola ini tentu
saat itu sangat besar pada masa itu, dimana mulai dari Pijor Koling hingga
Saroematinggi (berasal dari kata Ceilon aroe=sungai, kini menjadi
Sayurmatinggi) dapat dilayari. Namun setelah Saroematinggi sisi sungai melebar
yang diwaktu-waktu tertentu membentuk paya besar (rodang) di beberapa daerah di
bawahnya (semacam danau). Arus dan volume air yang berasal dari Batang Angkola
di utara beradu (bertemu) dengan arus dan volume air (yang besar juga) dari
sungai Batang Gadis dari selatan di Mandailing yang juga membentuk paya besar.
Begitu luas paya (danau) yang terbentuk di sepanjang DAS Angkola dan di
pertemuan dua sungai besar tersebut menyebabkan dua sisi perbukitan hanya dihubungkan
oleh air paya (danau). Di sisi bukit sebelah timur DAS Angkola inilah terbentuk
koloni-koloni penduduk seperti Simangambat, Bonan Dolok dan Siaboe.
Paya (danau) besar Angkola di Simangambat
‘Kota’ Simangambat menjadi lebih besar dan berkembang yang
mana di satu sisi lebih dekat dari arah Pijor Koling dan Barus yang menyebabkan
tempat itu menjadi koloni terbesar di sekitar paya yang kemudian munculnya
pembangunan candi Simangambat, sedangkan di sisi lain, populasi penduduk di
Mandailing makin berkembang yang mana Simangambat menjadi tujuan pusat
peradaban baru. Dalam konteks ini, Simangambat kala itu adalah kota besar di
selatan (hilir) sungai Batang Angkola, yang merupakan ‘bandar’ dari segala
penjuru di daerah pengaliran Batang Angkola dan Batang Gadis dalam era
perdagangan emas (era Batak kuno). ‘Kota’ Siaboe kemudian berkembang, suatu
kota yang menghubungkan daerah Angkola dan Mandailing ke Padang Lawas
(sebagaimana halnya Pijor Koling, suatu ‘kota interchange’ di Angkola yang
menjadi simpul tiga arah (Baros, Mandailing dan Padang Lawas). Nama-nama Pijor
Koling dan Siaboe adalah dua kota industri pengolahan bahan emas maupun
produk-produk emas. Kota-kota lain (setelah kota Saroematinggi) seperti Aek
Badak, Sihepeng, Aek Poeli, Simangambat, Bonan Dolok dan Siaboe adalah
nama-nama yang secara linguistik berasosiasi dengan keberadaan danau besar
(paya besar).
Paya besar (rodang) di pertemuan B.Angkola dan B. Gadis
Di daerah bawah Saroematinggi, hanya tiga jalur yang bisa
dilalui menuju Padang Lawas yakni: Sihepeng, Simangambat dan Siaboe. Sedangkan
di sebelas atas Saroematinggi hanya satu jalur dan satu-satunya yang bisa
dilalui menuju Padang Lawas yakni Pijor Koling. Oleh karenanya, nama-nama kota
di DAS Batang Angkola ini sudah jauh berkembang sebelum ekspedisi Chola
melakukan aneksasi di Padang Lawas dan mengokupasi tempat-tempat di DAS
Angkola. Teritori emas (mulai dari Pijor Koling dan Siaboe) ini kemudian
diklaim sebagai teritori Chola, yaitu teritori yang disebut Ankola. Nama Ankola
sendiri di satu pihak adalah nama suatu daerah di India Selatan (di muara
sungai Gangga, bukan Gangga di utara) yang kemudian bunyinya bergeser menjadi
Angkola. Akan tetapi di pihak lain, nama Angkola bisa jadi berasal dari chola
(Dinasti Chola). Perbedaan ini mungkin tidak penting karena kedua asal nama ini
menunjuk tempat yang sama yakni sekitar DAS Batang Angkola (sebagai pembandung
nama Panai di DAS Batang Pane berasal dari Ceilon).
Jalur ekspedisi Ankola dan Panai
Ketika Dinasti Chola (Hindu) menyerang Sriwijaya (Budha) dan
berhasil melumpuhkannya, maka daerah koloni ekspedisi Chola memilih Panai
sebagai basis perdagangannya (karena alasan koneksitas penganut agama Hindu).
Besar kemungkinan bandar-bandar di sekitar Panai (yang sudah didominasi Hindu)
diokupasi Chola dan menyatukannya menjadi satu teritori perdagangan sungai yang
kemudian muncul nama Aru (terminologi aru di Ceilon adalah sungai). Sebagaimana
diketahui, Dinasti Chola terlebih dahulu menganeksasi Ceilon sebelum melakukan
ekspedisi ke Nusantara. Pasca Cholalah munculnya kerajaan sungai yang disebut
Kerajaan Aru di sungai Aru (menggantikan atau mereduksi sungai Panai menjadi
sungai B’aru’mun). Kerajaan Aru membawahi Sriwijaya (Batak kuno membawahi
Melayu kuno).
Inskripsi candi Sitopayan di Gunung Tua (1941)
Kerajaan Aru dalam hal ini dapat dibingkai sebagai satu
sebutan (baik sebelum dan?) sesudah kedatangan orang-orang Ceilon dan India
selatan di hulu sungai yang kemudian disebut sungai Baroemoen hingga datangnya
pengaruh Islam (orang-orang Moor). Situs-situs candi di Padang Bolak terutama
di sekitar Goenoengtoea mengindikasikan adanya Kerajaan Aru Batak yang
dibedakan dengan kerajaan-kerajaan Aru dari orang-orang Ceilon dan India
selatan. Dengan kata lain di antara periode yang panjang di sekitar hulu sungai
Baroemoen ini kerajaan asing dan kerajaan lokal berdampingan atau satu terhadap
yang lain mendahuluiya. Situs candi Sitopayan di Goenoengtoe (daerah terjauh
dari sungai Baraoemen atau daerah terdekat penduduk pedalaman Tanah Batak)
menunjukkan bahwa di dalam inskripsi yang ditemukan adanya dua pengaruh (India
dan Batak).
Teritori Dinasti Chola di India selatan (848-1279)
Pada abad keempatbelas, Kerajaan Aru (Hindu) mulai memudar.
Awalnya bermula dari kejayaan Kesultanan Aru (berganti Islam) di Nusantara
membuat iri Kerajaan Majapahit (Hindu) yang tengah berkembang pesat.
Orang-orang penganut agama Hindu di Aru mulai menyingkir ke Mandailing
(munculnya candi-candi di Mandailing, tidak jauh dari Siaboe, seakan kembali ke
titik awal). Hal serupa ini juga dulunya yang mendasari Chola (timbulnya
Kerajaan Aru) menyerang Sriwijaya karena iri melihat kejayaan Sriwijaya (yang
Budha). Lalu Kerajaan Majapahit (Jawa kuno) di bawah panglima Gajah Mada
menyerang Sriwijaya (Melayu kuno yang masih Budha) dan juga menyerang
Kesultanan Aru (Batak kuno yang sudah Islam).
Apakah Kerajaan Majapahit mampu mengalahkan Kesultanan Aru
(kesultanan Islam pertama) masih perdebatan. Namun artikel ini menganggap
Kesultanan Aru tidak terkalahkan. Yang berhasil ditaklukkan oleh Majapahit
hanyalah salah satu bandar Kesultanan Aru di pantai di muara sungai Baroemoen
bernama Panai. Bandar-bandar lainnya seperti Kota Pinang, Bila dan Koealoe
tidak disebut dalam laporan Kerajaan Majapahit. Bandar-bandar tersebut dan
pusat Kesultanan Aru di pedalaman tidak tercatat alias tidak berhasil
dikalahkan Majapahit. Para penulis-penulis Majapahit (seperti tercatat dalam
Negarakertagama) disebutkan bahwa sejumlah tempat telah ditaklukkan oleh
Majapahit termasuk didalamnya Panai dan Mandahiling. Mungkin penulis-penulis
Majapahit keliru, Para penulis menganggap (bandar) Panai seakan pusat
Kesultanan Aru dan Mandahiling (koloni baru India Hindu) dianggap berada di
bawah supremasi Kesultanan Aru, sehingga penaklukan Panai dengan sendirinya
dianggap telah menaklukkan Kesultanan Aru. Padahal kenyataannya tidak.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Salah satu kompleks candi di Padang Lawas (1920)
Untuk memahami serupa apa kawasan Padang Bolak (kini Padang
Lawas) di masa doeloe, dapat dimulai dari keberadaan candi. Selama ini, uraian
suatu komplek percandian, hanya difokuskan dan terbatas pada upaya mengusut
asal-usul keagamaan. Jarang yang memperhatikan tentang keberadaa penduduk lokal
di sekitarnya. Nyaris semua menggunakan pandangan dari luar (barat: India dan
Eropa) dan kurang menonjolkan dari sisi lain (timur atau lokal). Soal
keberadaan percandian di Padang Lawas adalah suatu hal yang khusus yang boleh
jadi seumur dengan keberadaan Barus. Sebagai titik tolak dari artikel ini:
interpretasi masa kini terhadap keberadaan candi ini di masa lampau dapat
mengindikasikan perihal berikut:
.
a. Dibangun untuk kebutuhan keagamaan
(Budha/Hindu): pemujaan atau pusat pengajaran.
b. Bangunan megah
dijamannya, membangunnya membutuhkan keahlian khusus (arsitek).
c. Pada era
teknologi yang masih sederhana, untuk membangunnya dibutuhkan jumlah tenaga
kerja yang sangat banyak.
d. Membangunnya
haruslah ada yang memerintahkan dengan didukung pembiayaan yang sangat besar.
e. Jumlah candi
sangat banyak, tersebar di berbagai tempat (bandar/kota) yang berjauhan tetapi
satu sama lain terhubung melalui moda transportasi sungai.
f. Sungai utama
(Baroemoen) ke hulu memiliki anak sungai yang dapat dilayari dan ke hilir
memiliki akses langsung ke laut. Muara sungai Baroemoen adalah kawasan lalu
lintas pelayaran internasional (east-west).
g. Semua
bandar/kota ini memiliki jalur ekonomi masing-masing ke daerah pedalaman dimana
terdapat sentra produksi seperti emas, benzoin, kamper, kemenyan dan casia.
h. Terdapat
populasi kuda yang sangat banyak, kuda terbaik di Nusantara
i. Ditemukan bendungan
raksasa di beberapa tempat sebagai sumber irigasi pertanian.
j. Sisa lain
kemajuan masa lalu terdapat populasi ternak besar yang sangat banyak jumlahnya
yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan susu serta alat pertanian.
k. Dan seterusnya.
Karakteristik yang didaftarkan beberapa aspek di atas,
anglomerasi percandian di Padang Lawas seakan menjelaskan langsung bahwa di
kawasan Padang Lawas ini di masa lampau terdapat suatu kerajaan besar yang
menjadi pusat perdagangan utama di Tanah Batak. Dengan dukungan produksi
komoditi dunia yang diusahakan oleh penduduk Batak dari seluruh penjuru angin,
kawasan perdagangan ini besar kemungkinan adalah kawasan ekonomi terluas di
Nusantara. Bagaimana hal itu disimpulkan? Mari kita lacak!
Awal Perdagangan Budha / Hindu di Sumatra (1030)
Menurut NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis
(1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau)
dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di
Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara
yang terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari
candi Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih
makmur pada abad kesebelas.
Biaro Bahal di Padang Bolak (1920)
Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030.
Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah
sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai
Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).
Pada fase itu, Sriwijaya sudah memiliki hubungan dagang dengan Tiongkok.
Produk-produk yang dikirim dari Palembang ke Tiongkok termasuk diantaranya
kemenyan, benzoin dan kamper. Tiga komoditi alamiah yang unik ini sebagaimana
diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk Batak. Besar kemungkinan produk ini
mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.
Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros
memudar. Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di
Baros dan Natal) telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan
Panai menjadi pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak
dalam mengusahaan produk-produk alamiah tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu
sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di
hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang India melakukan
transaksi dagang dengan penduduk dari semua punjuru Tanah Batak.
Di India selatan Radja Chola-I (memerintah 1012-1042) sangat
iri melihat kemajuan perdagangan di Palembang (yang didukung oleh Panai).
Aliran produk-produk perdagangan dari Jawa dan Sumatra (nusantara) mulai
menyusut melalui barat (India) karena poros baru perdagangan ke timur
(Tiongkok). Saat itu, kerajaan terbesar di nusantara adalah Sriwijaya. Setelah
menaklukkan kerajaan-kerajaan di India sendiri (Ceilon, Orissa dan Bengalen)
lalu Radja Chola mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sriwijaya. Hasilnya,
Sriwijaya dihancurkan dan para penduduknya melakukan eksodus seperti ke Jambi
dan Malaka.
Dalam ekspedisi militer Chola ini, bandar Panai tidak dalam
posisi untuk ditaklukkan. Sebab, secara historis, Panai masih bertalian dengan
Ceilon dan India Selatan. Dengan hancurnya Sriwijaya, secara tidak langsung
Panai menjadi ;terbebaskan; dari pengaruh Sriwijaya. Supremasi Sriwijaya atas
Panai yang lalu kemudian diikuti pengembangan aliansi Sriwijaya dengan Tiongkok
boleh jadi menjadi pangkal perkara mengapa Radja Chola marah besar terhadap
Sriwijaya.
Beringin raksasa di Padang Lawas (terbesar di nusantara,
1936)
Setelah Sriwijaya Palembang berhasil dihancurkan, para
militer Chola mulai membangun pusat perdagangan di luar negeri (di luar India).
Tampaknya mereka lebih memilih untuk membangun pusat perdagangan tersebut di
daerah aliran sungai (DAS) Baroemoen daripada DAS sungai Musi. Hal ini dapat
dipahami, karena beberapa aspek, yakni:: di DAS Baroemoen (of Panai) sudah
sejak lama koloni India (selatan) mengembangkan perdagangannya; volume produk
perdagangan dunia di DAS Baroemoen dipandang jauh lebih potensial dibanding
semua tempat (bandar-bandar) di Sumatra; dan letak strategis muara sungai
Baroemoen yang langsung berhadapan dengan selat yang mana selat ini dianggap
sebagai koridor pertahanan dan lalu lintas perdagangan antara timur dan
barat. .
Untuk mengoptimalkan sumber-sumber perdagangan Panai, para
militer Chola mulai memasuki pedalaman hulu sungai Baroemoen untuk
mengembangkan bandar-bandar kecil di tepi sungai tempat dimana orang-orang
India sejak lama telah melakukan transaksi dagang dengan penduduk Batak lalu
menyatukannya menjadi suatu teritori (kawasan perdagangan) dengan ibukota di
sungai Panai (kini sungai Batang Pane). Penyatuan teritori bandar-bandar ini
besar kemungkinkan menjadi cikal bakal munculnya Kerajaan Aru. Lalu Kerajaan
Aru inilah yang besar kemungkinan mempelopori pembangunan sejumlah kompleks
candi Hindu di beberapa bandar (di hulu sungai Baroemoen)..
Makam raja di Siabu dekat Sibuhuan (lukisan le Clereq, 1846)
Pengaruh India (Kerajaan Aru) di hulu Sungai Baroemoen
(dengan anak-anak sungainya Batang Pane, Sirumambe, Sangkilon dan Batang Onang
dan Sihapas, tidak hanya dalam bentuk pembangunan candi-candi, tetapi juga
nama-nama daerah seperti Panai, Aru, Portibi, Siunggam, Angkola, Pijor Koling
dan gunung Malea (dari Himalaya). Situs penting lainnya, pada tahun 1936 masih
ditemukan pohon beringin raksasa di Sibuhuan yang diperkirakan umurnya telah
mencapai ratusan tahun [catatan: lukisan disamping ini dibuat oleh asisten
Jenderal von Gagen yang pernah berkunjung ke Ankola di Padang Sidempoean tahun
1846. Utusan ratu, von Gagen ditemani oleh Jenderal Mischiel, gubernur
Sumatra's Westkust. Sepintas makam tersebut terkesan seperti model arsitektur
India kuno]. .
Kerajaan Aru boleh jadi merupakan kelanjutan kerajaan
pertama orang-orang India selatan beragama Hindu di Sumatra. Sebelum muncul
koloni India selatan di pantai timur Sumatra, koloni India selatan sudah eksis
lebih dahulu di pantai barat Sumatra seperti di Baros. Sebagaimana diketahui,
tidak ada bukti peninggalan candi di Baros, maka besar kemungkinan orang-orang
India selatan belum sampai pada tahap pembangunan kerajaan. Sebaliknya, koloni
orang-orang India selatan di Baros dan sekitarnya justru melakukan migrasi ke
Aru atau Panai di Padang Lawas setelah mengetahui kemakmuran yang terjadi di
Kerajaan Aru.
Secara teoritis komunitas lokal (Batak) lebih dahulu eksis
baru menyusul para pedagang (India Selatan) datang, tidak sebaliknya. Dengan
kata lain ada dulu komoditi (produksi/konsumsi) baru perdagangan
(ekonomi/trade) muncul. Juga secara teoritis ada dulu pra-kerajaan (Batak)
sebelum terbentuk kerajaan yang lebih besar (India selatan). Para pedagang
India selatan yang datang ke pedalaman tanah Batak hanyalah seglintir orang
dibandingkan populasi Batak yang banyak. Namun para pedagang yang dibantu atau
memiliki kekuatan militer lambat laun menguasai penduduk lokal (pra-kerajaan).
Hal serupa ini juga yang terjadi dengan penduduk Melayu di Palembang, penduduk
Jawa di Kediri dan Majapahit dan penduduk Sunda di Pakuan/Padjadjaran. Dalam
konteks hubungan (perdagangan) internasional (Batak dan India) inilah baru
populer nama-nama tempat dalam sistem navigasi kuno di pedalaman tanah batak
seperti Portibi, Malea, Saeoemambe, Sangkilon, Pane/Panai. Semua nama ini
secara linguistik berasal dari India selatan (Ceilon). Disamping itu juga eksis
nama-nama lokal seperti Sihapas dan (batang) Onang. Penulis-penulis Portugis
menyebut wilayah ini dengan nama Terra Daroe (terra d'Aroe). Terra sama dengan
tanah atau wilayah; aroe sma dengan sungai; dengan demikian Terra Daroe atau
Terra d'Aroe sama dengan Tanah/Wilayah yang memiliki sungai-sungai yang tentu
saja adalah Tanah Batak (penghasil komoditi kuno kemenyan dan kamper) itu
sendiri. Saat itu, hanya satu wilayah di dunia (portibi) sebagai penghasil
kemenyan dan kamper. .
Bukti bahwa Kerajaan Panai/Aru ini sangat makmur dan berjaya
di jamannya (sudah menggantikan posisi kejayaan Sriwijaya di nusantara) adalah
begitu banyaknya candi-candi yang tersebar di dalam satu kawasan ekonomi sungai
(aru) yang sangat luas di hulu sungai Baroemoen, suatu komplek percandian yang
terluas di nusantara. Nama Padang Lawas baru muncul di era Belanda. Dalam fase
ini, penduduk Padang Lawas (Panai/Aru) tidak hanya pusat (ekonomi) dunia
(Portibi/Pritivi) juga penduduknya berhasil mengembangkan dasar sistem
pengetahuan dalam wujud aksara Batak. Sebagaimana diketahui bahwa Uli Kozok
(2009) telah membuktikan bahwa aksara Batak bermula di Tanah Batak selatan
(Terra Daru atau Terra d'Aru). Oleh karena pusat (ekonomi/perdagangan) dunia di
Panai/Aru terhubung dengan semua tempat-tempat pusat komoditi di Tanah Batak,
maka difusi aksara Batak ini menyebar (melalui pedagang-pedagang pengumpul) ke
seluruh penjuru Tanah Batak (Silindoeng, Toba, Karo, Pakpak/Dairi, Alas/Gayo).
Suatu interpretasi bisa dikembangkan berdasarkan fakta-fakta
(prasasti Tanjore) bahwa Panai dan Aru adalah dua nama untuk menunjukkan tempat
yang sama dalam dua periode (masa) yang berbeda. Secara teknis, Panai adalah
nama daerah sejak jaman kuno di Ceilon. Orang-orang Ceilon yang melakukan
koloni di Panai yang besar kemungkinan menganut Budha. Candi-candi yang
dibangun di Padang Lawas boleh jadi sebagai umurnya jauh lebih tua daripada
yang dilaporkan dan usianya bisa sejaman dengan Jawa Kuno (candi Brobodur/Budha)
dan Kerajaan Sriwijaya/Budha. Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Chola
(Hindu) telah menaklukkan Ceilon (Budha), maka candi-candi yang ada di Padang
Lawas sebagian dari vihara (biaro) Budha telah dialihfungsikan menjadi
candi/vihara Hindu. Dalam pergeseran dominasi di Panai (Padang Lawas) dari
Budha ke Hindu (pasca Chola) diduga munculnya Kerajaan Aru (Hindu). Istilah aru
sendiri di Ceilon adalah sungai. Penamaan Kerajaan Aru/Hindu (suksesi Kerajaan
Panai/Budha) adalah untuk menghilangkan kesan Budha ketika Hindu telah
mendominasi. Penamaan kerajaan ini dengan nama Aru yang juga aru sama dengan
sungai lebih mewakili untuk menyebutkan Kerajaan Aru adalah kerajaan dari
kumpulan bandar-bandar yang terhubung satu sama lain dengan sungai. Dengan kata
lain kerajaan aru adalah kerajaan sungai-sungai (sungai Barumun, sungai Panai,
sungai Sirumambe, sungai Sangkilon dan sungai-sungai lainnya). Dalam peta-peta
lama, nama sungai Barumun belum muncul ketika nama sungai Panai sudah sejak
lama eksis. Dalam peta-peta pasca Portugis, sungai Barumun disebut sebagai
river Baroemoen of Paneh (sungai Baroemoen atau Paneh). Dalam hal ini
terminologi barumun diduga muncul dari asal kata 'aru' dalam terminologi baru
yakni b'aru'mun atau b'aroe'moen.
Perlu disadari, dan juga kurang disadari oleh peneliti,
secara historis penduduk Batak di hulu sungai Baroemoen (Angkola/Mandailing)
tidak terhubung dengan penduduk lain bahkan dengan penduduk terdekat yang
berbahasa Melayu. Seperti dikatakan TJ Willer (1846) memiliki sistem bahasa
sendiri. Kata 'eme' (padi/beras) sebagai makanan pokok sudah eksis sejak adanya
bahasa Batak. Bahasa Batak sendiri (terutama Angkola/Mandailing) tidak mengenal
huruf F dan Q (dari bahasa asing) dan juga huruf V, W, X, Y dan Z. Oleh
karenanya bahasa Batak Angkola/Mandailing tidak memiliki (kosa) kata yang
dimulai dari huruf-huruf tersebut (lihat HJ Eggink, 1936). Dalam kamus Batak
kuno, laman atau entri kata hanya sampai huruf T (minus F dan Q). Untuk huruf U
ada di laman/entri O sebagai OE (sejaan lama Belanda van Ophuijsen). Sedangkan
kata-kata yang berawalan W dan Y merupakan kata-kata serapan baru dari bahasa
asing. Bahkan kata-kata yang dimulai dari huruf W dan Y di dalam bahasa Sankrit
(Sanskerta dari India) tidak terdapat dalam kamus bahasa Batak kuno (dan kamus
masa kini?). Boleh jadi hal ini mengapa Chola dilafalkan dengan Angkola.
Pengaruh Agama Islam di Bandar-Bandar Penting di Sumatra
Setelah Kerajaan Sriwijaya hancur (oleh ekspedisi militer
Chola), satu-satunya kerajaan yang terbilang sangat besar di nusantara adalah
Kerjaaan Aru. Kemakmuran di Kerajaan Aru ini oleh orang-orang India cukup lama
sebelum datangnya pedagang-pedagang Moor di bandar-bandar penting di Sumatra
bagian utara yang kemudian menggantikan dominasi pedagang-pedagang Arab/Persia
di pantai barat Sumatra seperti Baros. Pedagang-pedagang Moor ini mula-mula
mengembangkan perdagangannya di Aceh yang menjadi cikal bakal lahirnya Pasai,
Lamuri, Pedir dan Perlak.
Menurut NJ Krom, ada perbedaan substansial antara koloni
Budha/Hindu di Jawa dengan di Sumatra. Koloni Budha/Hindu di Jawa merupakan
koloni pertanian (seperti di Mataram kuno). Sedangkan koloni di Sumatra lebih
diwarnai kehidupan perdagangan sebagaimana Sriwijaya Palembang di DAS Musi dan
Panai/Aru di DAS Baroemoen. Salah satu wujud dari perbedaan pembangunan candi
di Jawa adalah membangun candi dalam ukuran besar besar seperti candi Borobudur
dan candi Prambanan sebagai manifestasi tujuan setiap orang yang menganut agama
Budha/HIndu. Sedangkan di Sumatra cenderung kecil-kecil tetapi sangat menyebar
(terutama di DAS Baroemoen) sebagai manifestasi perintah dari pada pemimpin
untuk memfasilitasi keburuhan penduduknya dalam beragama.
Tumbuhnya pusat-pusat perdagangan baru di Aceh merupakan
suatu rangkaian dengan semakin menguatnya pelabuhan-pelabuhan penting di India
barat yang didominasi oleh pedagang-pedagang Islam seperti Gujarat. Orang-orang
Moor yang telah berada di Aceh pada dasarnya mengembangkan perdagangannya
dengan penduduk Batak di Gayo/Alas dan juga mulai melirik perdagangan
orang-orang Batak di koloni-koloni India di DAS Baroemoen.
Pelan tetapi pasti, arus perdagangan dari Tanah Batak
dikuasai oleh orang-orang Moor. Produk-produk dari DAS Baroemoen akhirnya jatuh
ke tangan orang-orang Moor. Oleh karena arus perdagangan yang dimainkan oleh
orang-orang Moor ini tetap melalui jalur perdagangan barat (India), maka
situasi yang dihadapi tidak mengalami resistensi (sebagaimana Radja Chola
melihat Sriwijaya membangun aliansi ke timur di Tiongkok). Dengan kata lain,
Islam dan Hindu masih bisa berjalan secara bersama-sama.
Lambat-laun penetrasi pedagang-pedagang Islam dari Moor ini
memasuki DAS Baroemoen. Pedagang-pedagang Moor ternyata tidak hanya berdagang
tetapi juga menyebarkan ajaran agama Islam terhadap penduduk lokal. Pengaruh
Hindu lambat laun mulai menyusut dan digantikan oleh pengaruh Islam. Lalu
kemudian Kerajaan (Hindu) Aru digantikan dengan munculnya Kesultanan (Islam)
Aru. Kesultanan Aru boleh jadi merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Pada saat itu bandar-bandar Islam di Aceh belum terbentuk sebagai suatu
kerajaan.
Laporan Ekspedisi Pamalayu Majapahit (1336 dan 1365)
Pada puncak kejayaannya, Kesultanan Aru membawahi Siak dan
Malaka. Pada fase ini hikayat Laksamana Hang Tuah muncul, sebagai tokoh penting.
Sebagian peneliti menganggap Laksamana Hang Tuah, panglima Siak dan sebagian
yang lain panglima Aru. Sebagian peneliti menganggap Laksamana Hang Tuah,
panglima Siak dan sebagian yang lain panglima Aru.
Di Jawa Kerajaan Majapahit tengah maju-majunya. Akan tetapi,
Raja Hayam Wuruk mulai khawatir dengan keberadaan Hindu di Jawa. Sebab dominasi
Hindu di Baroemoen telah digantikan oleh Islam. Dalam kaitan ini, Panglima
Gajah Mada bersumpah yang dikenal sebagai sumpah Palapa (lihat Pararaton,
1336).
Asal mula kemarahan Gajah Mada (dari Majapahit) adalah
bermula ketika Laksamana Hang Tuah pernah mengomentari Malaka sebagai Melayu
bajingan yang memiliki elemen Jawa dari Madjapahit. Atas dasar itu Gajah Mada
bersumpah untuk menaklukkan (kerajaan-kerajaan kecil) seperti dicatat dalam
buku Negarakertagama: Gurun (Nusa Penida, Bali), Seram, Tanjung Pura
(Kalimantan), Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik
(Singapore) dan akan menyatukannya.
Gajah Mada tidak (dan tentu saja tidak) menyebut Kerajaan
(besar) Aru, karena justru motif penaklukan dan penyatuan ini adalah untuk
menghancurkan Kerajaan Aru dimana seterunya Laksamana Hang Tuah berada (secara
teoritis, hanya panglima dari kerajaan yang lemah yang bersumpah untuk
mengumpulkan kekuatan untuk melawan laksamana dari kerajaan yang kuat;
sementara Hang Tuah yang mewakili Melayu coba menghina Malaka yang telah
tercampur dengan elemen Jawa ingin menunjukkan dirinya sebagai Melayu tulen
yang disisi lain membuat Gajah Mada tersinggung).
Mengapa poros Kerajaan Madjapahit: Jawa, Palembang,
Semenanjung plus Haru? Hipotesis MO Parlindungan dalam bukunya Tuanko Rao
mungkin jawabnya. Perkembangan Islam Sumatra menjadi sinyal bagi Majapahit
terhadap kelansungan masa depannya. Majapahit dalam ekspedisi Pamalayu di satu
sisi ingin menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan menyatukannya untuk
memperkuat pengaruh Hindu/Djawa, sementara di sisi lain menghancurkan
kesultanan-kesultanan Islam. Benar Pamalayu Expedition untuk menyatukan
nusantara dalam konteks Hindu dan melenyapkan Islam dari nusantara.
Untuk melancarkan tujuan tersebut dapat dimaklumi mengapa
poros Hindu memasukkan Haru sebagai bagiannya. Sebab, Haru adalah kesultanan
paling lemah dan dengan mengokupasi Haru maka pengaruh Hindu ingin memisahkan
dua pengaruh kesultanan Islam yang kuat, yakni Kesultanan Aru di Barumun dan
Kesultanan Samudra/Pasai di Pasai. Inilah inti dari poros Jawa, Palembang dan
Semenanjung plus Haru.
Menurut 'buku' Negarakertagama karangan Mpoe Prapantja
(1365), disebutkan tiga tempat utama di pantai timur Sumatra yang ditaklukkan
oleh Kerajaan Madjapahit dibawah pimpinan Gadja Mada adalah Panai, Haru dan
Kampei. Dari catatan ini tidak terdapat Kerajaan Aru yang ditaklukkan. Panai
adalah pelabuhan Kerajaan Aru. Menurut versi MO Parlindungan, Haru juga
ditaklukkan malahan ekspedisi Gajah Mada justru mengalami kekalahan dan harus
pulang kandang. Oleh karenanya, Kesultanan Aru tetap eksis.
Ekspedisi Tiongkok Pimpinan Cheng Ho (1405-1433)
Dalam situasi status quo di nusantara, Kerajaan Aru tetap
tegak berdiri. Pada fase ini dilaporkan ada ekspedisi Tiongkok ke negeri-negeri
di Samudera Barat dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho. Eskpedisi ini jauh dari
motif penaklukan, melainkan untuk tujuan hubungan politik internasional
Tiongkok. Ekspedisi Cheng Ho ini sendiri dilakukan tujuh kali antara tahun
1405-1433) yang meliputi 20 tempat penting. Dalam laporan Ma Huan yang
mengikuti ekspedisi Cheng Ho berjudul Ying Ya Sheng Lan (ditulis 1451)
disebutkan bahwa Kesultanan Aru dan Kesultanan Lamuri (cikal bakal Kesultanan
Aceh), raja dan semua penduduknya beragama Islam.
Pulau Rantau, muara s.Barumun
Dalam laporan Tiongkok disebutkan lokasi Kerajaan Aru ini
berada di muara sungai air tawar (fresh water estuary). Identifikasi ‘muara air
tawar’ atau ‘laut air tawar’ tentu saja tidak sekadar menunjukkan pertemuan
antara sungai (air tawar) dengan laut (air asin). Identifikasi itu jelas lebih
dari itu. Identifikasi utusan Tiongkok itu haruslah diartikan dalam konteks
navigasi atau pelayaran di era itu. Dengan kata lain, muara sungai itu haruslah
sangat besar dan unik dimana muara sungai ini sulit dibedakan apakah muara itu
laut, danau atau sungai. Sebagaimana diketahui, begitu besarnya muara sungai
ini bahkan di tengahnya terdapat pulau besar yang dikenal sebagai Pulau Rantau.
Dalam konteks pelayaran, air di muara sungai itu, airnya benar-benar dapat
diminum dan tidak memerlukan upaya para awak kapal harus turun ke darat untuk
mendapatkan air minum.
Labuhan Bilik, fresh water estuary, muara S. Baroemoen
(kanan, P. Rantau), 1921
Muara sungai yang sesuai dengan konteks serupa itu hanyalah
cocok dengan sungai Baroemoen. Sebab sungai Baroemoen ini ratusan mil dapat
dilayari ke hulu dimana sepertiga dari panjang sungai jelang laut airnya sangat
tenang karena permukaan tanah sepanjang sungai ini hanya beberapa meter di atas
permukaan laut yang dalam hal ini memungkinkan terjadinya pengendapan
partikel-partikel lumpur sehingga airnya jernih (dan dapat diminum).
Utusan-utusan Tiongkok dalam hal ini melaporkan adanya fresh water estuary
tentu bukanlah identifikasi yang tidak berdasar. Oleh karena uniknya muara
sungai ini maka mereka mengidentifikasinya sebagai salah satu tanda navigasi
yang penting. Untuk ukuran kapal yang sangat besar yang dikomandoi Cheng Ho
sangat memungkinkan tetap berlayar di muara sungai Baroemoen.
Laporan-laporan Portugis: Pires, Barbosa dan Pinto
(1512-1539)
Pelaut Portugis sudah mendarat di Malacca tahun 1508 dan
menguasainya tahun 1511. Tome Pires (1512-1515) pernah mengunjungi Malacca.
Pires mendeskripsikan Sumatra berdasarkan informasi yang dikumpulkan di
Malacca, dimana Daru tertukar dengan Baros atau de Aru (Daru adalah ucapan
untuk 'de Aru'). Nama-nama ini mengindikasikan nama-nama yang berada di daerah
teritori penduduk Batak. Beberapa bandar penting yang didaftar Tome Pires
adalah Pedir, Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee. Dari tiga pelabuhan penting ini
hanya Aeilabu (Aek Labu atau Lobu Toea? nama lain Baros) yang sangat dekat
dengan teritori penduduk Batak, Meski disebut nama Aru, tetapi di dalam laporan
Pires tidak menonjol.
Peta 1619 (buatan Portugis)
Dimana letak Aru ini menurut laporan orang-orang Inggris
sebelum Portugis menguasai Malaka tahun 1511 adalah sebagai berikut: Kerajaan
Kedah atau Quedah (Lat.6’10’) di daerah sebelah bawah Siam (Thailand). Di
sebelah utara semenanjung Malacca ini yang sejajar dengan Kedah di Pulau
Sumatra pada posisi 5’5’. Titik penting di pulau ini adalah Cape Diamond pada
posisi 4’50’ (dan Belawan sendiri pada posisi 3’47’). Tempat berikutnya adalah
Pulo Pera, suatu pelabuhan yang berada di tengah lautan (selat Malacca). Lebih
jauh di selatan terdapat Pulo Aru (Lat.2’50’), suatu pulau kecil di tengah
selat yang mana di sisi di sisi semenanjung Malacca di sebelah tenggara pulau
ini terdapat teluk besar, yang kemudian di arah selatan teluk terdapat Malacca,
ibukota semenanjung pada posisi 2’20’. Kota ini awalnya di bawah supremasi
India (sebelum Portugis). Pelabuhan ini sangat ramai, selain India, juga
dikunjungi oleh kapal-kapal dari Hindustan, China, Philipina, Persia, Arab dan
bahkan Afrika. Orang-orang Arab menyebarkan agama Islam. Pelabuhan Malacca ini
dikunjungi adminarl Lopez pada tahun 1508 (lihat C. Pennant, 1800).
Nama Aru baru menonjol dalam laporan Barbosa. Ekspedisi
Barbosa dilakukan setelah Tome Pires. Barbosa menyebut hanya tujuh bandar
penting, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri),
Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Barbosa melakukan ekspedisi pada tahun
1518. Barbosa tampaknya mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires.
Menumbuk beras di Portibie (1890)
Dalam laporan
Barbosa/Tome Pires, Terra Aru ini dialiri oleh sungai yang sangat besar
dan jauh ke pedalaman yang dapat dilayari yang tanahnya sebagian berada di
tanah Minangkabao. Terra (tanah) ini sangat banyak menghasilkan emas, beras dan
meat (daging), benzoin, kamper, rotan, madu, gaharu, Disebutkan Pires
produk-produk mereka dijual melalui Pedir dan Pase (laut) dan melalui Panchur
atau Baros (darat). Pires juga menyebut banyak budak yang berasal dari daerah
ini diperdagangkan di pantai timur Sumatra. Sebagaimana diketahui hingga kini
wilayah Padang Bolak adalah wilayah yang memiliki populasi ternak terbanyak di
Sumatra Utara. Kerajaan Aru ini memiliki wilayah pantai antara Deli dan Rokan
dimana terdapat tempat-tempat yang dijadikan sebagai pasar budak yakni di
Kualu, Bila dan Panai.
Menurut Barbosa/Tome Pires, Kerajaan Aru adalah kerajaan
yang sangat besar, melebihi yang lain di Sumatra. Kerajaan Aru ini beribukota
di pedalaman di tempat dimana ditemukan banyak sungai (boleh jadi sungai-sungai
itu sungai Batang Pane, aek Sirumambe, Aek Sangkilon, aek Batang Onang atau Aek
Sihapas). Kerajaan ini sangat kuat tidak bisa dipenetrasi dikelilingi oleh
pegunungan dan jaraknya ratusan mil dari laut. Radjanya adalah seorang Moor.
Kerajaan ini memiliki banyak (orang) Mandarin yang disisi luar (selat Malaka)
kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat. Kerajaan Malaka selalu waspada
kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka.
Penyelidik Portugis lainnya adalah Duante Pinto yang tiba di
Malaca tahun 1539. Dalam laporan Pinto Pinto ini disebut Kerajaan Aru
beribukota di Panaju. Saat Pinto di Malaca datang utusan raja Kerajaan Aru ke
Malaca untuk mengajak berkolaborasi untuk menyerang Atjeh. Utusan ini bernama
Aquareng Daholay (marga Daulay?) ipar dari Raja Batak (marga Harahap?)
menyebutkan banyak tersimpan di gudang-gudang hasil dari tanahnya seperti emas,
lada, kamper, gaharu dan benzoin. Daholay sangat dendam ke Atjeh karena telah
merenggut tiga anaknya di desa Jacur dan Lingau (Simaloengoen?). Dialek bahasa
Batak Simaloengen dan Batak Padang Bolak sangat mirip. Pero de Faria (dan
Pinto) diundang ke Panaju pada hari
kelima bulan kedelapan. Nakur adalah salah satu tempat yang disinggahi oleh
ekspedisi Cheng Ho.
Pinto berangkat dari Malaka dan tiba di sebuah pelabuhan
selepas pantai wilayah Kerajaan Aru bernama Surotilao (pulau Rantau?) di
pertemuan laut di pedalaman dengan sungai yang disebut Hacanduri (sungai Bila?)
dan kemudian berlayar sepanjang sungai lima hari hingga tiba di pertemuan
sungai Baroemoen dan sungai Batang Pane lalu kemudian berlayar hingga ke Panaju
(ibukota kerajaan Batak). Kerajaan ini disebut Pinto memiliki pasukan dengan
kekuatan 15.000 orang, yang mana sebanyak 8.000 orang Batak dan selebihnya
adalah orang-orang dari Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo.
Pasukan Aru ini juga memiliki 40 gajah dan 12 meriam.
Pasukan cadangan ada di dataran tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?).
Selama Pinto berada di Panaju ditemani oleh seorang Moor, dan Pinto sempat
melihat ada sebanyak 63 kapal yang tengah bersandar di bandar Panecao. Gambaran
kekuatan Kesultanan Aru yang disebut Pinto ini seakan mengatakan bahwa Kerajaan
Aru memiliki poros Sumatra, Kalimantan, Philipina, Tiongkok (bandingkan dengan
poros Majapahit: Jawa, Palembang dan Semenanjung plus Haru).
Peta 1818 (buatan Belanda)
Kerajaan Batak ini memiliki pasukan gajah dan pasukan
cadangan di dataran tinggi Minangkabau (lihat Pinto). Daerah antara Rokan dan
Angkola (coast to coast) merupakan habitat gajah, hingga ini hari masih
ditemukan populasi gajah di daerah hulu Rokan yang berbatasan dengan Padang
Lawas. Tentang pasukan cadangan dari Minangkabau yang berada di dataran tinggi
boleh jadi merupakan indikasi hubungan partnership antara Kerajaan Aru di
dataran rendah (Padang Lawas) dengan Kerajaan Pagarroejoeng di dataran tinggi.
Catatan: anggapan sebagian pihak bahwa Kerajaan/Kesultanan Aru berada di Deli
jelas keliru. Faktanya, teritori Kerajaan/Kesultanan Aru berpusat di DAS
Baroemoen (dari hulu hingga hilir).
Rupanya laporan Pinto ini yang menyebabkan Kesultanan Aru
diambang kehancuran. Untuk membangun kekuasaan Portugis mulai melakukan
aneksasi terhadap tempat-tempat penting di Nusantara termasuk menyerang
Kesultanan Aru. Sejak dikalahkan Portugis, Kesultanan Aru mulai melemah tetapi
secara internasional namanya masih tercatat hingga kedatangan pelaut-pelaut
Belanda.
Laporan Belanda: Kedatangan Cornelis de Hotman (1595-1597)
Hampir satu abad Portugis mendahului pelaut-pelaut Belanda.
Kedatangan pelaut-pelaut Belanda dapat di baca dalam buku jurnal Belanda tahun
1598 berjudul: ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost
Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent
zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal ini
sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh
Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249
orang. Di dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta termasuk peta pulau
Sumatra dimana dalam peta ini nama Ilhas (pulau) dan Terra (tanah) Daru sudah
teridentifikasi. Sebagaimana diketahui, Cornelis de Houtman adalah pimpinan
ekspedisi pertama Belanda yang berhasil memasuki nusantara.
Sebagaimana diketahui, kemudian muncul VOC tahun 1602 yang
berkantor di Banten, lalu pindah ke Ambon, kemudian Sulawesi Selatan, lalu ke
Banten lagi dan akhirnya menetap di Batavia tahun 1619. Sebelumnya, pada tahun
1614 buku kono paling lengkap tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia
adalah berjudul ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’
yang terbit di Amsterdam tahun 1614. Buku berbahasa Belanda ini masih dicetak
dengan huruf gothiek. Oleh karena itu buku ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer
Oost ofte Portugaels Indien’ sudah beredar luas sebelum Belanda di Batavia
memulai babak baru penguasaan nusantara. Nama Aru (Terra d'Arruen) tercatat
dalam buku dunia ini.
Laporan Pedagang Tionghoa tentang Panai dan Angkola di
Batavia (1701)
Setelah Pinto mengunjungi Kesultanan Aru di hulu sungai
Bareomoen tahun 1539, dan penaklukan Portugis (Malaka) terhadap Kesultanan Aru
tidak ada lagi ekspedisi yang dilakukan ke Tanah Batak. Apa yang terjadi
sesudahnya tidak diketahui hingga munculnya laporan seorang pedagang Tionghoa
yang pernah mengunjungi Tanah Batak 1701. Dari laporan yang disampaikan di
Batavia ini terindikasi bahwa Tanah Batak sangat-sangat aman dan penduduknya
sangat beradab.
Rute perjalanan Tionghoa ini juga sekaligus mengungkapkan
bahwa antara pantai timur dan pantai barat Sumatra (coast to coast) sudah sejak
lama terhubung (Baros-Panai?). Soal nama Pane juga dilaporkan oleh pedagang
Tionghoa tersebut yang mana pedagang ini mondar-mandir berdagang di Angkola
dimana terdapat nama kota Pande (laporan ini dirilis oleh Perret, yang mana
Pande disebutnya mirip Pane).
Rute Tionghoa ini tampaknya adalah rute yang dahulunya
merupakan rute orang-orang India dari Baros ke Aru (dan sebaliknya). Kedekatan
hubungan Baros dan Aru ini agak menyulitkan peneliti-peneliti Portugis
membedakan secara tegas Baros dan Aru yang di dalam tulisan Pires dan Pinto
kerap tertukar (saling menggantikan) antara Baros, Bata dan Aru. Hal itu dapat
dimaklumi karena poros perdagangan Baros dan Aru berada di dalam teritori
penduduk Batak.
Ekspedisi Miller dan Laporan Marsden (1773 dan 1811)
Seorang botanis Inggris bernama Miller pernah berkunjung ke
Angkola pada tahun 1773. Charles Miller melakukan ekspedisi dari teluk
Tapanoeli via Angkola menuju Batang Onang (salah satu bandar di hulu sungai
Baroemoen di jantung Kerajaan Aru di Padang Bolak). Laporan-laporan Miller ini
menjadi bahan penting bagi William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra
(edisi 1811).
Marsden menggarisbawahi bahwa penduduk Batak telah mampu
menciptakan senjata dan membuat mesiu (dari unsur belerang), setiap pria mengendarai
kuda dan yang paling mereka (Miller dan Marsden) tidak diduga bahwa penduduk
pedalaman Angkola ini lebih dari separuh bisa baca tulis (dalam aksara Batak),
suatu angka literasi yang tinggi dan tidak pernah ditemukan di semua
bangsa-bangsa di Eropa. Boleh jadi ini suatu sisa-sisa Kerajaan Aru sebagai suatu kerajaan besar yang pernah
unggul dan kerajaan yang sangat maju dalam militer maupun dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
Laporan Willer dan Jung Huhn (1846)
Belanda memasuki Tanah Batak dimulai pada tahun 1833 melalui
Natal dalam rangka melndungi penduduk terhadap terror yang dilakukan oleh
padri. Setelah Belanda yang didukung penduduk Mandailing dan Angkola berhasil
melumpuhkan pasukan padri di Benteng Bonjol (1837) dalam perang Bonjol, lalu
pasukan Belanda yang didukung oleh penduduk Mandailing, Angkola dan Padang
Lawas melakukan pengejaran terhadap pasukan padri hingga ke Portibie (perang
Portibi) dan pada tahun 1838 Angkola dan Padang Lawas berhasil diamankan.
Pada tahun 1841 dibentuk Afdeling Mandheling en Ankola serta
afdeeling Pertibie. Pemerintah colonial Belanda menempatkan Willer sebagai
Asisten Residen di Mandheling en Ankola, sedangkan Jung Huhn ditempatkan di
afdeeling Pertibie sebagai pengawas. Dalam tugas awal pemerintahan ini, Willer
bertugas sebagai penyelidik social kemasyarakatan dan Jung Hunh sebagai
penyelidik geografi. Laporan kedua pejabat ini dapat dibaca dalam laporan yang
mereka terbitkan.
Candi Padang Lawas (1923)
Di dalam laporan Jung Huhn disebutkan bahwa lanskap di
Padang Lawas ditemukan kompleks percandian yang sangat banyak dan tersebar.
Laporan Jung Huhn inilah yang mengawali berbagai penyelidikan candi di Padang
Lawas. Sementara di dalam laporan Willer sangat kaya informasi tentang
kependudukan, social budaya baik di Mandheling, Ankola maupun di Padang Lawas.
Di dalam laporan Willer ini tidak menemukan adanya bukti adanya ternak babi di
tiga lanskap ini. Ini adalah suatu bukti pengaruh agama Islam sudah sejak lama
ada. Sebagaimana laporan Tiongkok yang ditulis Ma Huan (1451), bahwa raja dan
penduduk Kesultanan Aru semuanya menganut agama Islam.
Napak Tilas di Teritori Kesultanan Aru: Portibi-Bila (1855)
Dalam laporan Willer (1846) disebutkan lanskap Padang Lawas
(menggantikan nama Pertibie) terdiri dari enam onderafdeeling, yakni: Padang
Lawas, Dollok, Baroemoen, Tamboeseij, Paneh dan Biela. Total sebanyak 120
kampung dengan 4.620 keluarga. Dengan asumsi satu keluarga memiliki enam
anggota, maka jumlah populasi diperkirakan bisa mencapai maksimum 28.000 jiwa.
Onderafdeeling Padang Lawas sendiri terdiri dari empat distrik, yaitu: Batang
Onang, Pertibie, Batang Paneh dan Kotta Pinang. Keempat distrik ini terdiri
dari 23 kampung yang dihuni oleh 805 keluarga.
Dalam buku berjudul ‘Bijdragen tot de taal-, land-en
volkenkunde van Nederlandsch-Indie’ tahun 1855, penerbit Nijhoff terdapat satu bab tentang sebuah laporan
ekspedisi penelitian geologi ke Ankola dan Padang Lawas. Ekspedisi ini dimulai
dari Sibolga melalui jalur Lumut,
kemudian Batangtoru, Huraba Panabasan, Sisoendoeng hingga akhirnya sampai ke
Pijor Koling. Di dalam benteng Pijor Koling, tim ekspedisi ini bertemu hanya
dengan seorang sersan berbangsa Belanda bernama
Scheeren dengan anak buah sebanyak dua puluh tentara Jawa.
Di desa Pijor Koling sendiri terdapat 40 buah rumah kecil
yang terbuat dari bambu yang konstruksi berbentuk rumah panggung. Sejumlah
ternak berkeliaran di halaman, para wanita tampak menenun kain berwarna warni
dan menggunakan manik-manik, para pria bertani padi dan jagung untuk kebutuhan
sendiri (subsisten). Hanya beberapa pria yang bisa berbahasa Melayu
sedikit-sedikit. Kami mendapat informasi sekadarnya dari mereka..
Kami melanjutkan perjalanan ke Padang lawas. Jalan dari
Pitjar Kolling yang kami lalui berjalan secara soliter (ala Indian). Pertama
kami menyeberang sungai besar Batang Angkolah yang lebarnya 100 kaki. Lalu kami
berjalan melalui wilayah pegunungan, lereng gunung dan terus naik di bagian
belakang pegunungan yang luas, kadang-kadang, terutama oleh hutan yang tinggi,
di atas bukit Simardona (suhu 21 C). Di puncak bukit Simardona kami bisa
melihat ke barat merupakan lembah Pitjar Kollin, ke timur merupakan wilayah
yang luas. Titik tertinggi Bukit Simardona terletak 520 meter di atas laut.
Selanjutnya kami turun melalui hutan, rumput tinggi, lalu
kami sampai ke sungai Batang Anang, yang mana sumber airnya dari Simardona
Mountains yang kemudian tercurah sekitar dua jam ke lembah yang luas di mana
terdapat sungai yang lebih besar sungai Batang Siapas yang di bagian selatan
lembah luas dengan ketinggian tempat 198 meter di atas laut. Sungai Siapas
bersumber dari pegunungan di Sipirok dan Loeboeraja. Ini mengalir deras
kemudian melalui lembah luas hingga berakhir di selatan pasca Goenong Tuah. Di
sini dia membelok lebih ke timur, antara pegunungan Sioengam dan bukit Sipapal.
Dekat Goenong Tuah sungai ini bersatu dengan Batang Anang yang hulu di bukit
Simardona. Di bagian belakang atau sisi timur pegunungan sumber terakhir dari
sungai besar Batang Boeroemon, yang mengalir ke laut di Selat Malaka.
Pertemuan sungai Batang Paneh dan Batang Baroemoen terletak
pada jarak hanya sekitar satu setengah jam dari Pertibi. Dari sana, seorang
pria bisa berlayar dalam enam hari sampai kampung Bila, tidak jauh dari pantai
laut dan dengan perahu di Boeroemon bisa mencapai tujuh hari ke Bila. Nama-nama
desa kini di sepanjang pantai yang memberi kita jauh berbeda dengan yang dapat
ditemukan terdaftar di peta terbaru.
Saat matahari terbit perjalanan kami mulai sesuai dengan
informasi yang diberikan kepada kami, pada siang hari di kampung Koerita dan
saat malam kampung Simangabat. Hari kedua akan, setelah beberapa jam berada
ancaman ke mulut besar, di sisi kiri yang Boeroemon jatuh sungai, yang disebut
Singa Kanan, dan menjelang malam pada saat sepi Kampong Padang Matingi.
Pada hari ketiga yang memenuhi Geene dusun. Satu semalam
untuk Pasir Andjangan dan melewati bahwa hari pertama pelebaran luar biasa
sungai, yang dikenal dengan nama Loeboe Dalam. Hari keempat biasanya berlayar
ke Kota Pinang; tetapi kita juga dapat mencapai kampung Sisamoet sebelum
matahari terbenam, seperti berbohong sebelumnya di tepi kiri. Hari kelima
(selalu pagi 06:00 ekspedisi awal) satu tiba di malam ke kampung Paneh, di mana
satu, seperti biasa, malam tetap, dan hari keenam akhirnya kami tiba di kampung
Bila, yang serikat sungai nama itu dengan Boeroemon berada.
- Dapatkan pautan
- X
- E-mel
- Apl Lain
Catatan Popular
ASAL USUL SULANG SILIMA PAKPAK
ASAL USUL SULANG SILIMA PAKPAK : Dr. Ir. Eddy Keleng Ate Berutu MA., ChFC, CFP : SUKU Pakpak, Sumatera Utara DAIRI ( KBNLIPANRI ONLINE ) Suku Pakpak merupakan suatu kelompok suku bangsa yang terdapat di Sumatera Utara. Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut tanoh Pakpak. Tanoh Pakpak terbagi atas sub wilayah yakni: Simsim, Keppas, Pegagan (Kab Dairi), Kelasen (Kec. Parlilitan – Humbahas) dan Kec. Manduamas (Tapteng) Serta Boang (Aceh Singkel). Dalam administratif di 5 Kabupaten, yakni: Kab Pakpak Bharat, Kab Dairi, Kab Humbang Hassundutan, Kab Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) dan Kab Singkel (NAD). Maka sejak di bentuknya Kabupaten Pakpak Bharat maka penduduknya boleh dikategorikan homogen dan walaupun tanoh Pakpak tersebut secara wilayah administratif terpisah, namun secara geografi tidak terpisah satu sama lain karena berbatasan langsung walaupun hanya bagian bagian kecil dari wilayah kabupaten tertentu, kecuali Kabupaten Pakpak Bharat menjadi sentra utama...
HARTA PENINGGALAN ZAMAN KERAJAAN NUSANTARA
HARTA PENINGGALAN KERAJAAN NUSANTARA MAJAPAHIT /RAJA TANOJAWA ( GAJAHMADA ) JAKARTA ( lsmlipanri online ) - Jurnalis senior Safari ANS menghabiskan waktunya selama kurang lebih 10 tahun untuk meneliti misteri harta amanah Bung Karno senilai 57 ribu ton emas. Dimulai dari tugas jurnalis untuk menginvestigasi harta karun Bung Karno , Safari semakin intens mendalami persoalan ini. "Dimulai pertemuan saya dengan seorang Taiwan yang mempunyai dokumen tersebut (harta amanah) dengan tanda tangan Soekarno dan Chang Kai Sek yang berniat mencairkan emas ribuan ton," terang Safari ANS di Kampus Paramadina, Jakarta, Rabu (7/4). Dari Eropa dan Amerika Serikat, dia memulai investigasi kebenaran The Green Hilton Memorial Agreement yang ditandatangani oleh Kennedy dan Soekarno pada 14 November 1963. Tak hanya mencari sumber berita, untuk membuat valid data dia mendirikan LSM perbankan bernama International Fund for Indonesian Development yang berpusat di Hongkon...
KANTOR BERITA NASIONAL
Sumut Bermartabat dapat Ditempa melalui Shalat
Muzakarah Nasional, Gubernur Edy : Sumut Bermartabat dapat Ditempa melalui Shalat MEDAN, ( lsmlipanri online ) Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi mengatakan, untuk mewujudkan Sumut Bermartabat dapat ditempa melalui shalat. Shalat akan menguatkan ikatan, bukan hanya antara hamba dan Rabb-nya, tapi juga menguatkan ikatan antar sesama aparatur negara, sesama anak bangsa, dan sesama umat manusia. Hal itu disampaikan Gubernur Edy Rahmayadi saat menjadi Keynote Speaker pada Muzakarah Nasional Menyongsong MTQN XXVII Tahun 2018, di Aula Raja Inal Siregar Kantor Gubernur Sumut Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Selasa (2/10). Turut hadir dalam muzakarah tersebut Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah, para ASN dan OPD Pemprov Sumut. “Nasehat guru saya, para alim ulama, cita-cita mewujudkan Sumut Bermartabat dapat ditempa melalui shalat. Shalat akan menguatkan ikatan. Bukan hanya antara hamba dan Rabb-nya, tapi juga menguatkan ikatan antar ses...
Perkebunan Sawit Merampas Hak Ulayat dan Monopoli Tanah
Inventasi Perkebunan Sawit Merampas Hak Ulayat dan Monopoli Tanah SULAWESI,( KBNLIPANRI ONLINE )-Bahwa luas perkebunan, tambang, transmigrasi, infrastruktur serta pemukiman dan wilayah kelola masyarakat, melebihi dari wilayah administrasi Konawe selatan atau telah terjadi tumpang tindih perizinan antara perkebunan dengan perkebunan, antara perkebunan dengan pertambangan, antara perkebunan dengan pemukiman masyarakat, antara perkebunan dengan transmigrasi, antara antara pertambangan dan perkebunan dengan kepemilikan tanah atas hak-hak adat/ulayat masyarakat setempat. Bahwa Sejumlah perusahaan sudah melakukan aktifitas serta perluasan perkebunan sawit di Konawe Selatan, yang disertai berbagai masalah masalah seperti ketidak sesuaian antara izin lokasi dengan pembebasan lahan, aktivitas land clearing (pembersihan lahan), perampasan lahan petani, konversi kawasan hutan produksi-lindung dan kawasan taman nasional, penggusuran lahan secara sepihak, serta berbagai mas...
MAYAT DAN BAWAAN KORBAN KM SINAR BANGUN
MAYAT DAN BARANG BAWAAN KORBAN KM SINAR BANGUN DANAU TOBA DITEMUKAN SIMALUNGUN (lsmlipanri online ), DANAU TOBA – Video penampakan mayat korban KM Sinar Bangun di dasar Danau Toba menyebar luar. Video tersebut merupakan hasil tangkapan kamera robot canggih atau remotely operated vehicle (ROV) yang dikerahkan untuk mencari bangkai KM Sinar Bangun di Danau Toba. Dalam video tersebut terlihat beberapa mayat diduga penumpang KM Sinar Bangun. Pakaian yang dikenakan korban masih utuh. Ada yang memakai celana jeans warna biru, ada pula mengenakan sweater warna merah. Selain itu, ada pula sepeda motor diduga milik penumpang KM Sinar Bangun. Lokasi bangkai kapal diperkirakan tidak jauh dari tempat penemuan mayat dan benda-benda milik penumpang. Mayat dan barang penumpang KM Sinar Bangun ditemukan di kedalaman 450 meter. Badan SAR Nasional (Basarnas) sedang mencari cara mengevakuasi para korban KM Sinar Bangun yang ditemukan robot bawah air, Kamis 28 Juni 2018. ...
ASN Pemprov Sumut Gunakan e-Absensi Mulai 1 November 2018
ASN Pemprov Sumut Gunakan e-Absensi Mulai 1 November 2018 MEDAN, ( KBNLIPANRI ONLINE ) Absensi Berbasis Online atau e-Absensi akan diterapkan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) mulai 1 November 2018. Penerapan e-Absensi akan banyak memberikan kemudahan. Selain terbebas dari antrian, absensi juga lebih mudah dan cepat. Hal itu terungkap dalam acara sosialisasi penerapan e-Absensi bagi ASN di lingkungan Biro Humas dan Keprotokolan Setdaprov Sumut, Jumat (26/10) di Press Room, Kantor Gubernur Sumut Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan. Sosialisasi yang dibuka oleh Kepala Biro Humas dan Keprotokolan Ilyas Sitorus tersebut menghadirkan nara sumber Kepala Seksi Pengembangan Aplikasi Dinas Kominfo Provinsi Sumut M Alfian Jauhari SHut. “Rencananya e-Absensi akan diterapkan mulai 1 November, karena itu seluruh ASN, terutama di lingkungan Biro Humas dan Keprotokolan diharapkan sudah m...
TRAGEDI MAYAT KORBAN KM SINAR BANGUN
TRAGEDI PENCARIAN KM SINAR BANGUN DI DANAU TOBA DIHENTIKAN SIMALUNGUN (lsmlipanri online ) – Tim SAR gabungan resmi menghentikan pencarian korban tenggelam KM Sinar Bangun di dasar Danau Toba. Keputusan itu didapat usai digelar pertemuan antara pihak keluarga korban kapal maut itu dengan sejumlah pihak terkait. Diantaranya, Basarnas, KNKT, Jasaraharja, Polres Simalungun, Pemkab Simalungun dan TNI di Balai Harungguan Djabanten Damanik, Pemtangraya, Kanupaten Simalungun, Minggu (1/7/2018). Dalam pertemuan tersebut, membahas tentang upaya lanjutan pencarian korban KM Sinar Bangun 6 yang sudah memakan waktu hingga 14 hari. Video Penampakan Mayat Korban KM Sinar Bangun di Dasar Danau Toba Bupati Simalungun, JR Saragih kepada keluarga korban KM Sinar Bangun menjelaskan, upaya untuk menarik kapal ke permukaan memang bisa diupayakan tetapi, h...
GEMPA NTB
PERISTIWA GEMPA BUMI DI NTB Jakarta ( lsmlipanrionline ) - Gempa bumi berkekuatan 7 Skala Richter (SR) di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) menimbulkan potensi tsunami, meski pusat gempa berada di daratan. Kenapa tsunami bisa terjadi padahal gempa di darat? Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisoka (BMKG) Harry Tirto Djatmiko mengatakan, gempa 7 SR tersebut memang berpusat di darat, yakni tepatnya pada titik 8.37 LS dan 116.48 BT pada kedalaman 15 km. Namun, patahan gempa tersebut terjadi sampai ke laut. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya tsunami. Selain itu, gempa bumi tersebut termasuk dalam kategori gempa dangkal. Gempa bumi tersebut awalnya dilaporkan terjadi pada Minggu (5/6) pukul 18.46 WIB denga...
Ulasan
Catat Ulasan